Kekepemilikan Tanah dan Laut Menurut Hukum Adat bagi Pembangunan Berkelanjutan
Dr. Graham Baines
Environment Pacific
Ide dari pengakuan dan dukungan untuk hak kepemilikan tanah dan laut menurut hukum adat sebagai dasar untuk pembangunan berkelanjutan yang masuk akal, apalagi karena kepemilikan merupakan lambang yang begitu penting dari hubungan sosial. Akan tetapi di negara-negara Kepulauan Pasifik telah menjadi sulit untuk menetapkan kembali suatu bentuk kepemilikan tanah tradisional yang serba memuaskan. Beberapa permasalahan yang dihadapi akan dijelaskan. Contoh-contoh dari pendekatan yang berbeda pada masalah dukungan legal untuk tanah adat akan tersedia. Bahkan dalam situasi mana hak-hak kepemilikan dan penggunaan tanah menurut hukum adat telah ditetapkan, terdapat kesulitan dalam menggunakan kepemilikan menurut hukum adat dengan dukungan legal sebagai dasar untuk pembangunan ekonomi.
Sepanjang kedua jaman rezim kolonial, dan meskipun ditentang oleh pihak yang berkuasa, orang Timor Lorosa’e masih mempertahankan pengetahuan atas penetapan-penetapan tradisional untuk warisan dan alokasi tanah dan hak penggunaan sumber daya alam dari tanah itu. Penetapan-penetapan kepemilikan ini, bersama dengan pengetahuan lokal yang berhubungan atas sumber daya alam setempat dan keanekaragaman hayati, merupakan sistem-sistem lokal pengelolaan sumber daya alam. Hak laut berasal dari hak tanah di sekitar pesisir pantai. Jika masyarakat yang bersangkutan mengutamakan tanah, kepemilikan laut bisa tidak ditekankan sekuat kepemilikan tanah.
Pada saat kepergian para penguasa kolonial, semua negara Kepulauan Pasifik berusaha untuk memperoleh kembali dan mengembalikan sistem-sistem kepemilikan menurut hukum adat. Akan tetapi zaman dan keadaan telah berubah, dan tugas ini ternyata sulit.
. Penting untuk memelihara dasar hukum adat untuk daerah-daerah daratan dan lautan, apalagi karena kepemilikan merupakan lambang yang begitu penting dari hubungan sosial. Akan tetapi di negara-negara Kepulauan Pasifik telah menjadi sulit untuk menetapkan kembali suatu bentuk kepemilikan tanah tradisional yang cocok, karena:
. Alokasi tanah menurut hukum adat (ditentukan oleh warisan, tempat tinggal, pernikahan, dan asosiasi sosial yang lainnya) tidak pernah merupakan proses yang tepat. Keputusan-keputusan didasarkan atas prinsip-prinsip tertentu, tetapi ada suatu fleksibilitas yang berarti bahwa keputusan dapat dibuat untuk menyesuaikan dengan perubahan kondisi.
. Jika hak tanah menurut hukum adat akan diberi kedudukan yang sah, bagaimana hak itu akan dijelaskan, dan pada titik apa dalam evolusi adat setempat prinsip-prinsipnya akan ditetapkan?
. Tradisi mewariskan silsilah secara lisan kepada generasi berikutnya mulai menghilang karena wewenang dari para leluhur yang berpengetahuan telah diperlemahkan. Akibatnya, orang-orang muda kurang informasi akan hak-hak dan kewajiban mereka. Hal ini meningkatkan tingkat persengketaan hak tanah.
. Tidak semua individu yang tinggal di bagian tanah tertentu menjadi bagian dari kelompok yang “memiliki” tanah itu secara kolektif. Akan tetapi, hak mereka atas pemakaian tanah itu dilindungi di bawah adat, dan hak adat mereka bisa terancam jika para “pemilik” diberi hak milik resmi yang sah.
. Pepatah “a little knowledge is a dangerous thing” atau “sedikit pengetahuan adalah suatu hal yang berbahaya” berlaku dalam masalah ini. Beberapa individu telah terampil dalam memanfaatkan pengadilan untuk mengajukan silsilah palsu yang lebih menyakinkan dapat diterima daripada para pemilik yang sebenarnya. Dengan demikian mereka telah dapat mencabut hak milik dari pemilik sebenarnya.
. Pola distribusi tanah menurut hukum adat yang berlaku sekarang ini, pada beberapa hal mencerminkan hasil dari percekcokan yang terjadi di masa lampau. Dewasa ini, orang yang memiliki hak atas sedikit tanah atau tidak punya tanah sama sekali, mungkin merupakan keturunan dari pihak yang kalah pada masa lalu.
Negara-negara Kepulauan Pasifik telah menangani masalah dukungan hukum untuk tanah adat dengan cara-cara yang berbeda. Di kepulauan Solomon suatu pendekatan yang sederhana diangkat di bawah Customary Land Boundaries Act 1998 (Undang-undang Perbatasan Tanah menurut Hukum Adat, 1998). Undang-Undang ini memperbolehkan pendaftaran perbatasan tanah dan nama-nama dari suku bangsa atau marga yang secara bersama-sama “memiliki” tanah di dalam batas-batas yang terdaftar. Tugas sulit untuk menyetujui atas siapa yang menjadi anggota kelompok pemilik diserahkan kepada masyarakat yang bersangkutan. Perselisihan tentang siapa yang memenuhi syarat sering terjadi.
Di Papua New Guinea, Incorporated Land Groups Act, 1974 (Undang-Undang Kelompok Tanah 1974) memperbolehkan identifikasi “pemilik tanah”. Hal ini dilakukan melalui suatu proses pemetaan sosial. Fiji mulai pendaftaran tanah adat kira-kira 90 tahun yang lalu. Perlu 50 tahun untuk menyelesaikan tugas ini. Tanah orang pribumi Fiji, diatur oleh Native Land Trust Board (Dewan Perwalian Tanah Leluhur), dan suatu daftar khusus disediakan untuk orang pribumi Fiji, dengan setiap orang terdaftar di bawah suku atau marga di dalam mana bapaknya dilahirkan.
Bahkan dalam situasi dimana hak-hak kepemilikan dan pemanfaatan tanah menurut hukum adat telah ditetapkan, masih terdapat kesulitan-kesulitan dalam menggunakan kepemilikan harta kelompok yang didukung secara sah sebagai dasar untuk pembangunan ekonomi. Nilai tanah boleh cukup besar, tetapi lembaga finansial tidak dapat menjamin tanah itu terhadap pinjaman untuk perkembangannya. Jalan yang lebih sederhana menuju keuntungan ekonomi dari tanah, melalui penyewaan dari sebagiannya, juga merupakan masalah. Walaupun persewaan mempunyai periode waktu yang tepat, keberadaan orang lain di tanah leluhur kadang-kadang dirasakan sebagai semacam bentuk “pendudukan” yang dapat menyebabkan hilangnya hak atas tanah. Satu lagi masalah pembangunan yang sulit adalah keuntungan ekonomi yang didapatkan dari pemotongan kayu dan dari sumber-sumber mineral di atas dan di bawah tanah adat. Siapa yang akan menerima apa? Distribusi keuntungan yang tidak adil dari tanah adat dapat menjadi ancaman yang serius terhadap stabilitas sosial dan juga terhadap pembangunan yang berkelanjutan.
Pemikiran di belakang ide pengakuan dan dukungan hak kepemilikan tanah dan laut menurut hukum adat sebagai dasar untuk pembangunan yang berkelanjutan adalah logis. Terdapat pelajaran-pelajaran berguna yang bisa dipelajari dari usaha-usaha di tempat lain, tetapi pendekatannya harus bersifat Timor Lorosa’e dan harus menghadapi permasalahan seperti perbedaan status adat dan kelompok-kelompok masyarakat sehubungan dengan hak-hak adat, dan nasib orang-orang yang sudah lama menduduki tanah atas mana mereka tidak mempunyai hak keturunan.